Diskusi ICMS di GIIAS 2025 Terkait Perang Harga dan Kondisi Industri Otomotif Nasional
Indonesia Center for Mobility Studies (ICMS) gelar dialog menarik di GIIAS 2025. Mereka mengusung tema “Perang Harga vs Pembangunan Industri: Siapa Untung, Siapa Tertinggal?” Di tengah gempuran mobil murah, diskon besar, hingga persaingan semakin sengit antar-pabrikan. ICMS mengajak semua pemangku kepentingan merenung. Apakah perang harga benar-benar menyehatkan ekosistem industri? Atau justru jadi jebakan manis pada kemudian hari.
KEY TAKEAWAYS
Perang Harga vs Pembangunan Industri: Siapa Untung, Siapa Tertinggal?
Tujuan diselenggarakannya dialog ini, ICMS berharap industri otomotif nasional dapat terus tumbuh secara berkelanjutan. Terjadi kompetisi antar-pabrikan yang adil dan memberikan manfaat nyata bagi perekonomian IndonesiaMunawar Chalil, Ketua Umum Indonesia Center for Mobility Studies (ICMS), buka suara soal tren adu banting harga di industri otomotif nasional. Menurutnya, perang harga memang terlihat manis di awal—konsumen senang, grafik penjualan merek baru naik. Tapi di balik euforia itu, ada catatan penting yang tak bisa diabaikan. “Harus dikaji lebih dalam, karena dampaknya terhadap pembangunan industri dalam jangka panjang bisa sangat serius. Upaya kami adalah untuk mencari solusi agar semua dapat menjalankan bisnis secara adil dan berkesinambungan,” tegasnya.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara turut angkat bicara. Menurutnya, Indonesia menduduki posisi sangat penting dan tidak menginginkan jadi medan perang harga. Untuk wilayah ASEAN. RI masih menjadi nomor satu dalam hal penjualan walaupun market share semakin menurun. Rangking kedua diduduki Malaysia–naik kelas–yang biasanya ditempati Thailand. Ia menilai dalam industri otomotif, Indonesia harus belajar Negeri Siam. Sebab penjualan mobil nasional mengalami stagnasi 10 tahun. Karena terjadi penurunan daya beli dari kelas menengah. Jumlahnya 10-11 juta yang potensi pembeli kendaraan bermotor.
Kukuh Kumara juga menggarisbawahi situasi pasar otomotif sekarang. “Pada waktu LCGC kami perkenalkan, bisa mengangkat dari pengguna motor ke pengguna roda empat. Sekarang kita menghadapi tantangan baru dari negara Cina. Harganya menarik, kompetitif. Kajian menengah menunjukkan income naik cuma 3,5 persen. Namun harga mobil yang menjadi incaran, itu (harganya) naiknya 7,5 persen. Jadi gap-nya semakin besar. Di sisi lain ada perubahan mendasar, generasi milenial, punya preferensi berbeda. Mereka muncul dengan teknologi baru, digitalisasi yang berjalan. RnD selalu kita dibicarakan, tapi tidak real,” terangnya, di panggung ICMS (31/7/2025).
Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dan akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) turut hadir di dialog ICMS. Dengan kondisi yang tengah terjadi perang harga di industri otomotif nasional. Ia berharap regulator memberikan perhatian lebih saat ini. Sehingga semua merek otomotif di sini memiliki kesempatan sama dan akses yang tidak memihak. “Nah, kemudian kalau kita lihat. Kunci dari yang diperlukan sekarang adalah terdapat integrasi kebijakan pemerintah yang inklusif. Ini harus menjadi senjata bila mau jadi negara yang katanya 2045 Indonesia emas,” tutur dia.
Tujuan diselenggarakannya dialog ini, ICMS berharap industri otomotif nasional dapat terus tumbuh secara berkelanjutan. Terjadi kompetisi antar-pabrikan yang adil dan memberikan manfaat nyata bagi perekonomian Indonesia. Termasuk membuka lebih banyak lapangan kerja dan mengurangi ketergantungan impor. (Alx)
Baca Juga:
Menelisik Performa dan Kapabilitas Mitsubishi Destinator 1.5L Turbo
Ada di GIIAS 2025, Ini Perbedaan dan Persamaan Suzuki e-Vitara dengan Toyota Urban Cruiser EV
Artikel Unggulan
- Terbaru
- Populer
Artikel yang direkomendasikan untuk anda
Mobil Unggulan
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Artikel Mobil dari Carvaganza
Artikel Mobil dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test