Mercedes-Benz punya jajaran yang lengkap di semua segmen. Namanya besar lahir salah satunya di segmen sedan. PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia sebagai pemegang merek Mercedes-Benz di Tanah Air membuka tahun dengan meluncurkan varian baru dari C-Class, yakni C 180. Dulunya ia memiliki nama beken CIBO karena nomenklaturnya.
Varian C180 dalam keluarga Mercedes-Benz C-Class di dua generasi belakangan ini tidak datang sejak awal siklus hidup. Untuk model termutakhir sendiri (W205) unitnya perdana mengaspal awal tahun – setelah anggota keluarga lain mejeng sekitar lima tahunan. Langsung ia dinobatkan sebagai sedan Mercy paling murah, bahkan di bawah A200 sedan. Angka yang dimaksud adalah Rp 759 juta (Off the Road).
Secara Awam, kata termurah di suatu line-up sudah sewajarnya identik dengan sunat sana-sini. Entah itu gaya, fitur, hingga mesin sekalipun bisa jadi dipangkas demi harga yang terjangkau. Apalagi, label C180 berpotensi bikin kebanyakan orang berekspektasi terlalu rendah, terutama soal fitur. Persepsi tentu boleh-boleh saja. Pertanyaannya apakah benar demikian? Kami mendapat kesempatan mengeksplorasi C180 Avantgarde. Namun sebelum menelisik lebih dalam rasanya. Seberapa ‘Mercedes’ kah sedan Mercedes-Benz termurah ini?
Visual selalu menjadi hal pertama untuk memberikan penilaian. Secara umum Mercedes-Benz C180 kini punya perawakan lebih dewasa. Roundel besar Three Pointed Star melekat penuh percaya diri di depan, melambangkan ikon premium asal Jerman. Hampir semua tau logo itu punya siapa, menjadi penunjuk strata di jalan raya. Terlepas dari pandangan publik, C180 ini mampu mengecoh hingga sekilas dikira kelas atas: E-Class (W213) atau S-Class (W222).
Ini memang bukan bahasa baru, tapi ketiga model sedan segenerasi ini dirancang senada. Saling menyerupai, seakan diferensiasi terletak di ukuran saja. Terlebih lagi C180 tidak dandan polosan. Ia mengenakan paket baju Avantgarde seperti C200 sehingga tidak gamblang mendefinisikan kasta terendah. Rongga udara besar mengisi ruang bumper depan dan ditemani lips tipis pada area dagu. Di belakang, ada lis kromium membentuk twin tailpipe. Bukan lubang knalpot sebenarnya, sebatas hiasan, sebab lubang buangan tersembunyi di sisi kiri.
Frame jendela satin chrome serta elemen metalik mengilap lainnya membuat lenggokan C180 tetap berkelas. Bersolek manis bak siap berangkat pergi, tidak akan mengecewakan. Bermata cantik pula, mengusung headlamp LED High Performance. Sisi teratas melekat DRL sebagai alis yang bakal beralih fungsi ketika sein dinyalakan. Penerangan utama berasal dari empat bilah reflektor LED dan digarisbawahi oleh high beam berjumlah sama. Tak kalah menarik bila melihat permainan cahaya buritan. Grafis huruf C mendominasi rumah lampu, menegaskan nama kelas.
Peredaan mulai telihat di bagian sepatu, tersemat pelek 5 spoke 17 inci milik A-Class hatchback. Kembali lagi ke selera, tapi saya sendiri kurang sreg dengan rancangan selaput hitam di antara palang metalik. Agak cembung pula, terlihat seperti dop. Juga diameter 17 inci terlihat mungil di ruang sepatbor C180. Namun, hal itu berdampak kepada kenyamanan karena dibalut ban tebal, menyokong bantingan nikmatnya (nanti dibahas).
Namun secara umum tampilan permukaan tubuh C180 terlihat rapi. Tidak ada tonjolan seperti tahi lalat di bumper depan atau belakang. Ya, bisa ditebak, minus fitur sensor sudut untuk peringatan blind spot atau saat parkir. Cocok bila senang penampilan bersih nan lugu, atau berjiwa konservatif dan terbiasa dengan Mercedes keluaran lama.
Hanya saja jika berekspektasi kelengkapan fitur dan banderol berbanding lurus, C180 tidak akan memenuhi harapan. Tanpa smart entry tapi ada Keyless Go, jadi tombol di remot tetap harus ditekan untuk membuka pintu. Berikutnya cukup tekan tombol start/stop engine lalu mesin empat silinder menyambut. Tapi semua tidak melulu urusan fitur bukan? Toh C180 tawarkan pengalaman lain demi mengimbangi kekurangan. Pun masih ada bantuan kamera mundur. Jangan juga meremehkan karena tidak benar-benar hampa.
Sejak dahulu cita rasa sedan premium ditonjolkan lewat bobot dan suara. Bukan berat secara komponen melainkan bobot gerakan. Serbakokoh sekaligus lembut. Nikmat dan terasa kental prestisenya. Persis terjadi saat membuka pintu, lampu menyambut dari bawah spion kemudian beban engsel mengisyaratkan alunan kuat nan elegan. Suara hantaman saat menutup bak tabrakan antara karet tebal pintu kulkas besar – tetap terdengar “jleb” bukan “brak”. Menggugah, pasti terbayang.
Tapi mempertanyakan seberapa mewah sedan Mercedes bagai kekhawatiran dungu dan tidak perlu. Setidaknya untuk saat ini atmosfer kabin masih sanggup mendefinisikan kelas premium, walau secara global bukan lagi sebuah produk baru.
Ketika akses kabin dibuka, nuansa serbahitam menyambut. Panel dikelir hitam mengilap dengan aksen perak di beberapa titik. Setir dibungkus material kulit diikuti palang hitam doff, bukan silver, mendefinisikan kesederhanaan. Nyaris tidak ditemukan plastik kasar karena bahan soft touch mendominasi kabin dari dasbor hingga door trim.
Kursi dibungkus material kulit sintetis Artico Leather. Payah? Tentu tidak, sebab sejak dahulu faux leather eksis di berbagai model – punya panggilan MB Tex. Selain menciptakan kesan classy, kulit sintetis Mercedes dikenal tangguh dan mudah dirawat. Jadi mengingatkan saya kepada Mercedes Benz 200 W115 lansiran 1976 yang sempat dimiliki beberapa tahun silam. Bangku MB Tex cream bertahan tanpa sobek walau sudah berumur dan menempuh jarak jauh. Hal ini tentu menjadi ekspektasi saya untuk Artico Leather.
Didudukilah kursi kokpit. Jangan kaget bila tidak menemukan sakelar pengatur posisi di samping. Kontrol elektris terletak di bawah jok namun hanya dapat mengatur ketinggian dan sudut rebahan. Sementara itu, pergeseran dilakukan lewat tuas manual. Tak lupa kemiringan dan jangkauan setir (Tilt & Telescopic) disesuaikan secara manual dengan postur tubuh.
Impresi pertama bagian kaki terasa sempit. Konsol tengah terlalu memakan tempat lantas bilang,”minggir, minggir!” ke kaki kiri. Hal ini membuat set pedal agak geser ke kanan tapi tidak terlalu jauh. Kendati begitu, ruang duduk mampu menyokong individu berpostur jangkung sekalipun. Urusan kedalaman kolong dasbor boleh diacungi jempol, berikut bangku dapat diarahkan agar menyisakan ruang kepala berlimpah. Orang setinggi 172 cm seperti saya saja bisa merasa tenggelam di bawah horizon jendela dan dasbor dalam settingan terendah.
Urusan fitur kabin boleh dibilang cukup dan diimbangi suguhan material berikut sensasi berkendara. AC otomatis dual-zone Thermatic siapkan penyesuaian temperatur terpisah kiri dan kanan. Sakelar aksen metal memberikan kesan kokoh, sementara indikator AC bisa dilihat pada sisi terbawah layar infotainment. Agak kecil memang tapi membuat rapi tata letak dasbor karena sudah ada dua layar utama.
Yup, dua monitor eksis di dasbor. Satu unit 10,25 inci bertengger di tengah, satu lagi di bawah tudung panel instrumen. Full digital, keduanya berperan sebagai monitor tanpa layar sentuh. Dikontrol melalui selektor silinder multifungsi (memerankan pengarah tombol dan putaran) berikut touchpad di atasnya, atau melalui set tombol dan touchpad di palang setir.
Tiga tema display bisa dipilih sesuai keinginan: Classic, Sport, Progressive. Untuk urusan media tentu menganut fungsi konektivitas modern. Hubungkan gawai melalui Bluetooth, musik dari smartphone serta fungsi telepon dapat dinikmati. Kalau kurang, konektivitas Android Auto dan Apple Carplay tersedia lewat jalur kabel USB dalam kompartemen tengah.
Panel instrumen suguhkan banyak informasi ekstra. Ada konsumsi BBM sejak awal mobil menyala atau berdasarkan trip meter. Di samping itu, informasi Active Brake Assist boleh mejeng di tengah menunjukkan seberapa jauh mobil di depan. Yang pasti info di kedua layar ini komprehensif dan lebih dari cukup. Sebagai catatan, dari kelengkapan ini, C180 belum mengadopsi sistem MBUX termutakhir.
Namun, ada satu hal mengganggu selama saya menyicip Mercedes-Benz C180 Avantgarde ini: minus cup holder di depan. Hanya ada kompartemen botol di pintu. Lain cerita ketika duduk di belakang. Buka armrest lalu dua penyangga gelas dapat diminta menampakkan diri. Bicara soal duduk di belakang, tidak senyaman area kokpit. Ruang kaki dan kepala memang berlimpah, hanya bentuk jok kurang panjang sehingga kurang menyangga paha.
Begitu kurang lebih gambaran awal C180. Tak perlu diragukan lagi seberapa ‘Mercedes’-nya. Jelas premium dan berkelas meski fitur cukup mendasar. Fitur minim bisa dijadikan kesempatan untuk menikmati hal mendetail bukan? Seperti berjalan kaki di kota setelah seminggu penuh berlalu lalang dengan cepat. Dalam bahasan berikutnya, kami siapkan impresi berkendaranya.
Setelah tampilan dan kenyamanan interior, performa mesin jelas hal yang harus dicoba Ketika melakukan test drive. Mercedes-Benz C180 ini memang sedikit berbeda, kalau tak mau dibilang aneh. Meski memiliki kode 180 namun mesin yang digunakan bukanlah 1.8L namun 1.5L.
Mobil besar berjantung kecil merupakan rumus kendaraan membosankan. Hal ini membuat varian terendah sering dipersepsikan tidak sanggup berlari, payah, dan sebagainya. Tidak salah kalau ukuran C180 dibilang besar karena definisi kompak sudah berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Mesin kecil? Ada benarnya juga secara kubikasi. Kendati begitu, pandangan awam itu selalu terpatahkan ketika langsung mencoba.
Sebagai informasi, sedan entry level Mercedes-Benz ini memiliki dimensi setara E-Class era 90-an akhir. Bandingkan saja, C-Class W205 diukur memiliki dimensi (PxLxT) 4.686 x 2.020 x 1.442 mm. Sementara itu, E-Class W210 mencatatkan 4.818 x 1.798 x 1.417 mm. Sepantaran kan?
Model ini diperkuat unit empat silinder 1.500 cc, bukan 1.800 cc sesuai nomenklatur, bersembunyi di balik bonnet Mercedes-Benz C180 Avangarde. Jangan dulu berasumsi mesin itu payah. Lihat dulu data spesifikasi, karena turbocharger bantu siapkan pukulan uppercut lumayan kuat. Torsi keluar sejak putaran bawah, tepatnya mulai dari 1.500 rpm dengan kekuatan 250 Nm. Sementara itu, total ekstraksi tenaga dituliskan 156 hp pada rentang 5.300-6.100 rpm. Dalam skenario kebanyakan mobil di jalan raya, besaran ini lebih dari cukup meski terbilang moderat untuk sebuah jenama kelas kakap.
Mesin empat silinder ini dikawinkan dengan girboks otomatis 9-percepatan 9G-Tronic, menyalurkan tenaga ke roda belakang. Seleksi mode Dynamic Select mengatur dinamisme seperti titik perpindahan gigi, respons pedal, dan karakter mesin sesuai keinginan. Mau bersikap sensitif nan agresif atau santai seperti sedang bersandar di kursi malas, atau mungkin mengirit minuman, bisa ia laksanakan.
Yang pasti dalam penggunaan harian paling nyaman menggunakan mode Comfort atau Eco. Tidak ada alasan untuk bersikap agresif – lewat opsi Sport atau Sport+ – di tengah kota selama disiplin mengatur waktu. Jika memang perlu, otak C180 akan memindahkan gigi di putaran lebih tinggi sementara respons pedal membuatnya mudah naik pitam. Kendati begitu, mode Comfort pun menyuguhkan akselerasi cekatan dan tidak linglung sama sekali. Juga tersedia paddle shift andai ingin lebih spesifik memilih gigi untuk berakselerasi.
Grafik tenaga terasa nikmat untuk keliling perkotaan. Dorongan kuat namun lembut keluar sejak pedal dipijak. Tak ada kata meledak-ledak. Peningkatan tenaga cukup linear meski ada sedikit kekosongan di putaran bawah. Minim memang dan nyaris tidak terasa, menggambarkan karakteristik mesin turbo modern. Tapi jangan kira kemampuan boyo. Tuduhan itu mudah patahkan lantaran mobinl ini punya tarikan ke 100 kpj kurang dari 9 detik. Diklaim hanya butuh waktu 8,6 detik dengan top speed sekitar 223 kpj. Kendari begitu, ia turut membawa ciri khas mesin empat silinder Mercedes-Benz sejak dahulu. Napasnya kurang ‘plong’ di putaran atas, terdengar harus berusaha walau sebenarnya punya potensi cukup.
Output yang lumayan besar berimbas pada konsumsi bahan bakar. Tidak spesial hanya saja masih masuk akal untuk sebuah unit pengganti 1.800 cc N/A. Bahkan ada usaha meminum seminimal mungkin lewat automatic start/stop engine kala berhenti. Informasi dalam panel instrumen menunjukkan rentang 12-13 kmpl selama mengarungi jalan bebas hambatan. Dalam dinamisme perkotaan – stop and go, akselerasi, idle – angka itu memburuk hingga 8-9 kmpl.
Realita tidak jauh dari catatan pribadi C180. Setelah melaju sejauh 183 km, dibeberkan informasi konsumsi 7,35 kmpl – mayoritas perjalanan terlaksana dalam mode comfort. Dalam perhitungan full-to-full sendiri, sang edan eksekutif kompak entry level ini menghabiskan minuman sebanyak 24,62 liter. Kalau dihitung berarti 7,43 kmpl. Tak selisih jauh bukan? Sebagai catatan, itu merupakan hasil pengujian campuran antara perjalanan tol nan konstan, akselerasi di tengah perkotaan, macet, idle, dan sebagainya.
Hati terbuka lebar setelah menghabiskan banyak waktu bersama Mercy C180 ini keliling kota. Bukan karena mesin melainkan settingan suspensi Agility Control. Caranya menerjemahkan kontur jalan terkomposisi rapi. Bantingan lembut tapi tidak terlalu mengompromikan presisi dan postur ketika berbelok. Bahkan tutur kata semakin lemah lembut saat melaju kencang. Terutama di poros belakang, selalu mengayun anggun.
Kemanapun mata memandang, pasti melewati lansekap gunung dan lembah perubahan kontur permukaan interior nan manis. Dari situ baru bisa melihat ke luar. Bukaan kaca tidak serbabesar, tapi tidak juga sempit. Pas? Minimal tidak membuat klaustrofobia meski pilar-pilar tebal agak menghalangi.
Mungkin sebagian merengek kabin C180 terlalu sederhana layaknya taksi. Terutama palang setir karena dikelir hitam serta pengaturan bangku campuran elektris dan manual. Tapi itulah inti dari si ‘Cibo’, melayani jalur perkenalan dunia Mercedes serta mereka yang mencari kesahajaan di tengah hingar-bingar kemampuan canggih. Nuansa hitam dengan aksen perak bakal membuat terasa elegan kemana saja ia dibawa pergi.
Bungkusan elegan dan ayunan suspensi anggun menyimpan sisi seksi: safety. Dalam pandangan saya keselamatan komplet itu seksi, demikian pula seharusnya pola pikir Anda. Airbag jelas eksis, dilengkapi pula Kneebag serta sebagian lain bersembunyi di pilar. Tyre Pressure Monitoring Sensor sudah menjadi standar. Peranti pengereman dan handling? Dijamin komplet karena Electronic Stability Control (ESC) saja hadir.
Tahan dulu, belum selesai. Tanpa kancing sensor bukan berarti alat pendeteksi nihil. Active Braking Assist siap melindungi seluruh penumpang dari kecelakaan. Sistem akan memberikan peringatan jika pengemudi kurang awas terhadap rintangan di depan. Ambil contoh ada mobil berhenti. Kekuatan menjepit piringan otomatis dioptimalkan dengan sendirinya. Bahkan bisa menghentikan total bila pengemudi tidak bereaksi.
Citra sebuah Mercedes tetap dipunya meski menduduki posisi sedan termurah. Andai berekspektasi macam-macam di harga Rp 759 juta (OFR) mungkin banyak opsi lain. Tapi semua itu terbayarkan oleh pengendalian terkomposisi lembut, ‘mainan’ infotainment premium kekinian, serta tak kalah penting adalah prestise merek.
Ia mewakili simplisitas dari nama besar sedan Mercedes Benz modern. Bisa dijadikan hadiah pertama atas capaian prestasi hidup, atau mungkin sebagai penghargaan di masa tua. Tak banyak fitur sekunder berarti minim hal memusingkan di masa mendatang – sepuluh atau mungkin dua puluh tahun lagi. Sekaligus juga memudahkan adaptasi. Andai tertarik, hanya dua pilihan warna ditawarkan yakni Obsidian Black dan Polar White, dipadu kabin hitam Artico Leather. (Krm/Raju)
Baca Juga: DFSK Glory i-Auto: SUV dengan Paket Fitur Pelengkap
Hak Cipta © Zigwheels 2014-2024. Semua Hak Cipta Dilindungi.